Minggu, 27 Maret 2016

SILATURAHMI SAMBIL BELAJAR.
By Arif Bulan
Silaturahmi merupakan hal baik yang perlu dilakukan oleh siapapun. Silaturahmi pada dasarnya untuk mempererat tali kekeluargaan. namun disisi lain, silaturahmi membuka peluang masuknya ilmu dan pengetahuan baru. Ilmu dan penetahuan bisa didapatkan melalui berguru dan otodidak. Berguru bukan hanya saja  pada lingkungan formal, tetapi pada lingkungan informal, seperti duduk sambil berdiskusi dengan siapapun yang mungkin ada ilmu yang kita petik sambari duduk itu.
Sebenarnya, kapanpun kita bisa melakukan silaturahmi. Silaturahmi tidak perlu formal, seperti forum silaturahmi dan lain-lainya. Yang intinya bahwa silaturahmi itu harus  dengan orang yang telah dikenal. Disinilah letak manfaat silaturahmi tersebut. Terkadang kita tidak bisa meresapi manfaat dari silaturahmi yang dilakukan.
Sepertinya tulisan ini agak resmi, tapi penulis mencoba mengemas tulisan ini agar enjoy dibaca, namanya saja silaturahmi sambil belajar, ya kita sambil belajar saja yah membaca tulisan ringan ini.   
Well, saya rasa sangat perlu belajar pada siapapun dan di manapun. Salah saya metode belajar informal menurut saya adalah melalui metode silturahim. Silaturahim tentu ada komunikasi di dalamnya. Silaturahmi bisa perorangan dan kelompok. Silaturahmi bisa menjadi salah satu wahana mendengar informasi yang bermanfaat dari lawan wicara. Kata Om Bob Sadino, jadi orang itu jangan terlalu banyak bicara dan ingin selalu didengar, tapi sesekali kita harus menjadi pendengar, agar yang baik-baik menjadi ilmu dan pengetahuan buat kita.
Hari untuk bersilaturahmi itu bisa hari apa saja, namun kusus mahasiswa nih, bagusnya hari minggu dijadiakan hari kusus program silaturahmi. Seperti pengalaman penulis, biasanya penulis mengisi hari minggu dengan hal-hal positif seperti silaturahmi. Penulis biasanya mengunjungi para sesepuh satu kampong yang merantau dan sudah sukses di jogyakarta dan juga silaturahmi ke rumah-rumah dosen. Saat tulisan ini published, baru saja penulis bersilaturahmi dengan salah satu sesepuh dari Bima yang sudah lama menetap di Yogyakarta.
Minggu ini satu sesepuh yang penulis kunjungi, nama nyentrik beliau adalah Nasrulah Ompu Bana, beliau merupakan CEO Genta Publishing Yogyakarta.  penulis tidak akan bicara banyak tentang hal-hal apasaja yang diperoleh dari silaturahmi tadi. Coba bayangkan deh,   jika tiap minggu kita melakukan silaturahmi, sudah berapa banyak keluarga baru kita? Pastinya keluarga baru sangat bermanfaat loh!. Lewat tulisan ini, penulis ingin mengajak kita semua, yuk kita bersilaturahmi. Temukan manfaat dan sensasinya.


Sabtu, 05 Maret 2016

Rimpu Mbojo: sebuah identitas kultural yang mulai terlupakan
Oleh: Arif Bulan
Rimpu merupakan salah satu pakaian sar’i kaum hawa dalam masyarakat Bima dan Dompu. Rimpu dipakai oleh kaum hawa tua atau muda saat hendak keluar dari rumah, saat pergi ke pasar, ke rumah keluarga maupun ke tempat umum.
Rimpu bisa diartikan sebagai penutup aurat bagi perempuan, di mana seluruh anggota tubuh harus dibalut dengan sarung khas mbojo. namun dalam perkembanganya, rimpu tidak lagi menjadi tren atau mode baru dalam dunia fashion masyarakat Mbojo saat ini. Jika kita melihat fungsi dari rimpu adalah untuk menutup aurat maka, tidaklah beda dengan apa yang kita kenal dengan hijab/jilbab.
Zaman memang sudah berubah, rimpu sudah lagi tidak “ngetren”, tapi setidaknya budaya rimpu tidak harus ditinggalkan. Dari beberpa pengamatan penulis, hampir seluruh anak remaja usia sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di kecamatan Sape, Lambu, Sila dan Bolo sudah tidak mengenakan rimpu dalam masyarakat. Ini menandakan bahwa tradisi rimpu sudah mulai dilupakan oleh masyrakat mbojo.
Rimpu cenderung dianggap kolot dan kampungan bagi pemakainya. saat ini rimpu hanya dipakai oleh sebagian ibu-ibu yang umurnya hamper 40-50tahun. Sebuah apresiasi yang perlu diberikan karena mereka masih menjaga nilai kearifan lokal yang ditinggalkan oleh para leluhur.
Rimpu sudah bergeser pada jilbab yang nota bene itu adalah bukan kebudayaan asli Indonesia. Dalam funsinya, rimpu dan jilbap hamper mirip yaitu sebagai alat untuk menutup aurat, namun ada yang berbeda dengan rimpu, rimpu juga menggambarkan identitas pemakainya. model pemakaian rimpu ada dua, yaitu rimpu mpida dan rimpu colo. Rimpu mpida memberikan gambaran bahwa perempuan tersebut adalah masih lajang. Sedangkan rimpu colo memberikan gambaran bahwa wanita tersebut telah menikah. 
Cirri-ciri rimpu colo adalah, bagian depan wajah kelihatan, mulai dari bibir sampai dahi, sedangkan rimpu mpida memilki cirri, hanya kedua bola mata yang terlihat. Ada kode non-linguistik  yang terjadi dalam tradisi rimpu colo maupun rimpu mpida tersebut. Seorang  laki-lak,i tidak perlu lagi menanyakan status pemakai rimpu tersebut, kode yang diberikan cukup melihat cara pemakaian rimpu saja, apakah rimpu tersebut rimpu cola atau rimpu mpida.
Dalam satu sumber yang pernah penulis baca bahwa, seorang laki-laki bisa melihat kecantikan wanita tersebut adalah dari bagus dan tidaknya motif dan penjahitan sarung yang dipakai untuk rimpu tersebut. Wanita  dalam hal rimpu berlomba-lomba untuk menunjukan bahwa inilah hasil karya saya. Bahwa pada jaman dulu dalam sejarah mbojo, wanita harus bisa menenun, sehingga tembe rimpu yang dipakai itu adalah hasil karya mereka dan tembe rimpu itulah yag menjadi media mereka menunjukan diri mereka. Berbeda dengan pemandangan jaman sekarang, aktualisasi kecantikan diri cenderung diperlihatkan dari terbukanya pakaian yang dikenakan. 

Semoga bermanfaat untuk kita.

Senin, 14 Desember 2015

Bahasa Bima "Kalembo Ade": Kajian Pragmatik



BAHASA BIMA “KALEMBO ADE”: KAJIAN PRAGMATIK
 
Arif Bulan
 Jurusan Linguistik Terapan Universitas Negeri Yogyakarta
Email: arifbulan1@gmail.com


Abstrak
Teori pragmatik mengatakan bahwa mengkaji arti dan makna harus dilihat dari maksud, tujuan dan konteks dimana bahasa itu diucapkan. Dalam mempelajari makna bahasa Bima “kalembo ade” perlu dilihat dari berbagai aspek stilistika, affeksi dan tema, sehingga arti dan makna “kalembo ade” dapat diresapi dan dipahami dari beberapa sedut pandang. Tulisan ini mennggunakan pendekatan linguistik antropologis untuk dapat memehami fenomena dan keunikan makna bahasa yang diucapkan pengguna bahasa tersebut.
Kata kunci: Bahasa, Makna “kelembo ade”, Pragmatik.  

Pendahuluan.
Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya dan bahasa. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki banyak daerah, tiap-tiap daerah memiliki bahasa masing-masing. Bima adalah salah satu daerah kabupaten yang berada di pulau Sumbawa provinsi Nusa Tenggara Barat. Bima mayoritas didiami suku mbojo, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Bima (nggahi mbojo) .
Dalam bahasa Bima, ada satu ungkapan yang unik dan multi tafsir. Ungkapan tersebut  yaitu “kalembo ade”. Ungkapan ini seperti yang disebutkan diatas adalah ungkapan yang multi tafsir, karena ungkapan tersebut bisa digunakan dalam beberapa konteks  yang berbeda dan setiap konteks yang disebutkan memiliki makna yang berbeda, sehinnga ungkapan ini menurut penulis masuk dalam ranah kajian pragmatik. Di mana kajian pragmatik itu sendiri mengkaji masalah makna bahasa yang ditinjau dari konteks pembicaraan.
Ungkapan “kalembo ade” bisa diartikan sebagai ungkapan terimakasih, ungkapan bela sungkawa, ungkapan kesedihan, ungkapan menghormati, ungkapan menghargai dan ungkapan saat perpisahan. Keunikan dalam makna pragmatik inilah kemudian penulis mencoba untuk mengkaji dalam beberapa aspek. Aspek-aspek yang coba disentuh oleh ungkapan “kalembo ade” antara lain, aspek stilistic meaning, affective meaning dan thematic meaning.
Bila dilihat dari sudut pandang pragmatik,ungkapan “kalembo ade” ini bisa menimbulkan hal ketaksaan, Sehingga masyarakat Bima pada umumnya menggunakan ungkapan ini dalam berbagai konteks dan situasi dimana ungkapan itu diucapkan dan dimana proses komunikasi itu terjadi. Ungkapan “kalembo ade” bisa dipengaruhi beberapa situasi sehingga penggunaanya sangat beragam. Kalau dilihat dari aspek formal dan nonformal ungkapan ini bisa mencul dimanapun.
Landasan teori dan metode    
Menurut Subroto (2011: 1) bahasa merupakan pengetahuan yang tersimpan dari dalam dan terstruktur, dan dikuasai serta digunakan dalam komunikasi secara umum. Dalam bahasa tersimpan arti sebagai sistem tanda, kemudian dari tanda ini dipahami sebuah bahasa dengan baik dan benar. Sebagai pengguna bahasa, kita secara bebas memakai bahasa tersebut namun harus tetap mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku sehingga pahasa tersebut bisa dipahami, dala hal ini peran pendekata pragmatic sangta dibutuhkan untuk mengetahui arti dan makna ungkapan atau bahasa yang digunakan lawan tutur.
Mengkaji masalah Arti dan makna dalam komunikasi harus mengikutsertakan beberapa pendekatan atau aspek supaya maksud dari tuturan bisa mempunyai nilai dari sisi pendengar atau lawan tutur. Seperti yang dikatakan Leech melalui Subroto (2011: 49-55) arti atau makna stilistik berkaitan dengan warna dialek geografis atau warna dialek sosial penutur. Arti atau makna affektif berkaitan dengan perasaan penuturnya, sedangkan arti atau makna tematik adalah bagaimana penutur mengorganisasikan tuturanya.   
Pragmatik menurut Levinson melalui Clark (2009: 13) adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan konteks yang  berdasarka pada pemahaman bahasa. Sebenarnya kajian pragmatik tidak jauh berbeda dengan kajian semantik karena keduanya mengkaji masalah arti dan makna, namun ada hal-hal mendasar yang membedakan antara  keduanya. Semantik mengkaji arti lingual yang  yang tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik mengkaji arti dan makna berdasarkan konteks yang biasa disebut “the speakers’s meaning” atau arti menurut tafsiran penutur (Clark, 2009: 13).
Berbahasa sama halnya dengan berkomunikasi, dimana proses komunikasi melibatkan dua orang atau lebih dalam penggunaanya. Dalam bahasanya masyarakat Bima berkomunikasi dengan lawan tuturnya menggunakan kaedah-kaedah bahasa pada umumnya, namun dalam hal memaknai makna yang terkandung didalamnya perlu analisa dari lawan tutur, walaupin kata-kata yang diucapkan cukup teratur.
Tidak jauh berbeda dengan pandangan Clark mengenai pragmatik, Yule (1996: 5) pun mengatakan bahwa pragmatik mempelajari tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Mempelajari bahasa dan kajiannya adalah sebuah keharusan dalam pendekatan pragmatik, jika tidak maka makna yang terkandung dalam bahasa tersebut tidak bisa dimaknai secara sempurna. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka dan jenis-jenis tindakannya (Yule, 2009: 5).
Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan linguistik antropologis.Linguistik Antropologis menafsirkan fenomena bahasa untuk mendapatkan pemahaman bahasa dan budaya penuturnya (Foley, 1997: 3). Sebagai diketahui, dalam penelitian bahasa terdapat dua pendekatan utama dalam melihat fenomena bahasa. Yang pertama, melihat fenomena bahasa yang bersifat otonom atau terpisah dari hal lain di luar bahasa. Pendekatan kedua melihat fenomena bahasa dalam kaitanya dengan hal lain diluar bahasa (Suhandano 2015: 99). 
Pembahasan.
Bahasa “kalembo ade” dalam pandangan masyarakat Bima merupakan bahasa yang halus dalam pemakaianya, untuk memahami maksud dan tujuan penutur menayampaikan ungkapan “kelembo ade” adalah harus melihat konteks dalam pembicaraan. Contoh:
a.    Saya sedang menghadapi masalah finansial karena ayah sudah tidak bekerja lagi.
b.    Saya pamit dulu ya paman! doakan semoga saya menjadi orang sukses.
c.    Saya pulang duluan ya, anak saya sedang menunggu di rumah.
d.   “kalembo ade” Beginilah keadaan rumah saya, semua serba kosong.

Contoh yang pertama, lawan bicara menangkap makna dari penutur pertama bahwa sipenutur pertama  sedang tidak punya uang. Maksud penutur pertama dalam kalimat diatas adalah ingin meminjam uang. Ungkapan penolakan  halus yang diucapkan oleh lawan bicara adalah “kalembo ade”. Makna dari “kalembo ade” adalah, ‘maaf saya tidak punya cukup uang untuk membantu kamu’. Ungkapan “kalembo ade” ini cukup pendek namun artinya sangat luas dilihat dari maksud si penutur.

Contoh yang kedua, terjadi percakapan antara keponakan dan pamanya. Si keponakan bermaksud untuk berpamitan dan akan pergi untuk merantau. Si paman tahu bahwa si ponakan hendak ingin pergi merantau. Pamanya mengatakan “kalembo ade”, maksud dari “kalembo ade” ini adalah ‘si paman meminta keponakannya untuk bekerja keras agar menjadi orang sukses’.

Contoh ketiga, terjadi percakapan antara dua orang, seorang ibu dan temanya. Dari contoh diatas, temanya sudah bisa mengetahui maksud dari seorang ibu itu, bahwa dia ingin cepat-cepat pulang karena takut anaknya menangis di rumah. Respon  dari temanya itu bisa berupa ungkapan “kalembo ade” yang artinya ‘hati-hati dijalan’.  Ini merupakan afeksi atau perhatian seorang teman kepada seorang ibu tersebut.

Contoh yang terakhir, percakapan seorang teman yang  bertamu ke rumah kerabat. Dalam contoh terakhir ini, seorang kerabat yang mengataka “kalembo ade” terhadap tamunya, maksud dari ungkapan kalembo ade itu bisa di maknai sebagai ucapan maaf karena mungkin jamuan di rumahnya tidak enak atau tidak sempurna.

Dari contoh-contoh diatas bahwa bahasa Bima “kalembo ade” memiliki beragam makna dilihat dari konteks pembicaraan. Habermas mengatakan (1998: 9) bahwa teori makna adalah bagaimana meninggalkan makna dari setiap kalimat yang diucapakan dan kalimat itu akan menjadi asumsi makna. Jadi senada seperti yang dikatakan Habermes diatas bahwa, dari setiap kalimat yang diperbincangkan dari makna “kelembo ade”  memilki makna yang berbeda-beda manurut asumsi dan konteks pembicaraan tersebut.

Simpulan dan Saran

Dari beberapa contoh diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Bima “kalembo ade” memiliki makna yang luas dan unik yang bergantung pada maksud, tujuan dan konteks dari penutur amsing-masing. Jika terdapat kekurangan dari tulisan ini, mohon dimaklumi karena yang memiliki kesempurnaan hanya Allah SWT semata, saya mengharapkan jika ada saran dan perbaikan dari para pembaca mohon dikirim ke email yang tertera diatas.







Daftar Pustaka

Clark, V. Eve. 2009. First Language Acquisition. New York : Cambridge University Press

Foley, W. A. 1997. Antropological  Linguistic. Massacuttes : Blackwell Publisher Inc

Habermas. Jurgen. 1998. On The Pragmatic of Communication. Cambridge. Massacuttes : The MIT Press     

Subroto. Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta : Cakrawala Media

Suhandano. 2015. LingTera vol. Mei. Leksikon Samin Sebagai Cermin Pandangan Dunia Penuturnya. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta Press

Yule. George. 1996. Pragmatics. Oxford University press

Selasa, 11 November 2014

pendidikan politik berkarakter



Pendidikan Politik Yang Berkarakter
Saat sekarang ini pembahasan tentang politik sedang hangat dibicarakan, mulai dari level masyarakat awam hingga masyarakat modern, dari yang usia sekolah hingga pelaku politik tersebut. Politik memang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari, karena kita hidup ini juga dengan politik. Moment ini pula saya sebagai penulis menganggap perlu mempublikasikan tulisan ini, karena keperihatinan saya sebagai warga negara indonesia yang melihat dan mengamati proses perpolitikan di Negara Indonesia tercinta ini kususnya Nusa Tenggara Barat.
Para kontestan partai politik, para calon Legislatif dari DPRD, DPRD PROVINSI hingga DPR RI sedang berkoar-koar atau lebih halusnya sedang menjaring aspirasi masyarakat dan bisa juga disebut sedang berkampanye dan turun/terjun langsung kemasyarakat, kegiatan ini saya amati adalah sebagai bentuk pendidikan politik kepada masyarakat pemilih, para calon-calon Legislalif lebih sering mengatakan “kita harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat” kata-kata ini tidak selaras dengan perilaku yang mereka lakukan, kebanyakan dari mereka hanya datang dan mengunjungi masyarakat pada saat mendekati pemilu saja, itu hal yang lazim terjadi di masyarakat kita. Menurut penulis hal ini salah karena akan melihirkan pendapat yang tidak baik di masyarakat pemilih, seharusnaya para calon legislatif memberikan pendidikan politik yang Berkarakter agar masyarakat betul-betul memahami esensi politik dan masyarakat tidak beranggapan bahwa politik itu adalah uang, inilah pola pikir yang harus kita rubah di masyarakat kita agar generasi penerus bangsa ini memiliki karakter dalam berpolitik. Karakter apa saja yang perlu ada pada generasi penerus bangsa dan khususnya para calon-calon Legislatif?
Jawaban di atas akan penulis uraikan beserta pengertian politik, pendidikan,  karakter dan juga pokok-pokok politik lainya.
A.    Politik secara etimologis (berasaldari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara, dari bahasa Inggris; politic (adj): bijaksana, beradab, berakal, yang dipikirkan ; polite (adj) : sopan, halus, beradab, sopan santun, terpilih, yang halus budi bahasanya ; policy (noun): kebijaksanaan, haluan negara.
Adapun beberapa pengertian politik dari sudut pandang para ahli:
1.      Aristoteles mengatakan Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
2.      Hans Kelens mengatakan bahwa politik mempunyai dua arti, yaitu sebagai berikut:

a. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap        hidup secara sempurna.
b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
3.      Ibnu Aqil mengatakan politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rosulullah S.A.W.
Dari pemaparan dari para ahli di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa politik adalah suatu seni atau cara yang dilukan oleh masyarakat untuk mempengaruhi dan memperoleh kekuasaan.
Menarik untuk di amati bahwa tujuan politik itu adalah sangat mulia dimana kegiatan politik itu adalah lebih kepada pelayanan publik, akan tetapi politik itu sendiri disalah artikan atau salah penerapanya oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan individu ataupun kelompok.
Politik saat ini erat kaitanya dengan meperkaya diri dan kelompok, dan masyarakat pemilihpun sudah mulai mempolitisasi keadaan demi kepentinagn bersama, misalnya meminta sumbangan dana pembangunan mesjid, pembangunan panti asuhan, pembuatan baju persatuan sepak bola, bola volly dan lain sebagainya, kegiatan ini sering di manfaatkan saat moment-moment politik seperti sekarang ini, karena masyarakat beranggapan suara mereka akan lebih di dengar saat pemangku politik itu memerlukan dukungan massa. Hal inilah yang sama-sama harus kita perhatikan sebagai bentuk perubahan perilaku masyarakat terhadap perilaku para pemangku politik, seharusnya para pemangku politik tidak hanya terjun ke masyarakat saat mendekati pemilu saja, akan tetapi setiap saat dan setiap waktu harus turun ke masyarakat agar dapat mendengar langsung aspirasi-aspirasi masyarakat. Hal ini pula dapat mengakibatkan masyarakat memilih GOLPUT karena ketidakpuasan dan ketidak percayaannya kepada anggota legislatif atau pemangku politik, maka langkah yang di ambil oleh pemangku politik atau calon maupun anggota legislatif adalah memberikan pendidikan politik yang berkarakter kepada masyarakat melalui sikap, tingkah laku dan tutur kata yang baik yang bersifat terus menerus.
B. Pendikan secara Etimologis  Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Dari pengertian pendidikan secara bahasa tersebut maka dapatlah kita memilah dari realitas politik yang ada, bahwa keberadaan kampanye dan penjaringan aspirasi massa adalah bentuk dari pendidikan politik, karena menurut hemat penulis, kegiatan kampanye dan penjaringan aspirasi massa adalah usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, walaupun pengertian pengajaran tidak penulis spesialisasikan dalam pandangan khusus, artinya bahwa dengan berkampanye dan menjaring aspirasi massa itu sudah termasuk pengajaran, karena didalamnya sudah mengandung pesan dan ajakan yang baik kepada calon pemilih.

C. Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir (Doni Koesoema, 2007: 80).
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Di pihak lain, Frye (2002: 2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share”. Nilai-nilai utama yang dapat dipetik dari pengertian di atas adalah:
1.        Kejujuran, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
2.       Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat.
3.       Ketangguhan, yakni sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.
4.        Kepedulian, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya.
Adapun beberapa pemaparan para tokoh Nasional dan mancanegara yang harus kita anuti dalam pembentukan karakter ini antara lain:

1.Bung Karno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”, demikian Soemarno Soedarsono (2009) dalam bukunya “Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang”.
2. Mahatma Gandhi mengatakan hal yang sama, “Kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”.
3. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan hal senada bahwa “Pembangunan watak (characterbuilding)adalah amat penting.Kita ingin membangun manusia Indonesiayangberakhlak,berbudi pekerti,danberperilaku baik.Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yangunggul danmulia.Bangsa yangberkarakter unggul,disamping tercermin dari moral,etika danbudi pekerti yang baik juga ditandai dengan semangat, tekat dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi.

Maka pendidikan politik yang berkarakter sangatlah perlu  disadari dan diterapkan oleh tokoh-tokoh politik maupun calon anggota DPR, Melalui kampanye, penjaringan aspirasi, maupun tingkah laku dan tutur kata para tokoh dan calon wakil rakyat tersebut sangat membantu dalam pembentukan politik yang berkarakter, penulis mengamati bahwa peran dan kinerja wakil rakyat tidak mencerminkan karakter wakil rakyat yang baik karena karakter yang baik itu adalah harus meliputi kejujuran, kecerdasan ketangguhan, keimanan, dan kepedulian. Jika karakter ini dimili oleh wakil rakyat maupun rakyat, maka tidak ada alasan bagi indonesia untuk tidak maju. Maka harapan penulis semoga di moment pemilihan DPR (Dewan parrwakilan Rakyat) dan Presiden nanti mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkarakter sehingga menjadikan Indonesia Negara yang Adil, Makmur dan bijaksana.

Tentang Penulis.
Nama: Arif Bulan, S.Pd
TTL: Bima, 05-08-1991
Alamat: Gili Trawangan, KLU-NTB.
No Hp: 087 763 057 310
Rekening BRI SYARIAH : 1012107068

kartu sakti jokowi-jk. opini





KARTU SAKTI DARI JOKOWI-JK, MASYARAKAT DILARANG SAKIT
Jokowi memang sosok yang sangat popular, mantan Walikota Solo selama dua periode dan mantan gubernur DKI Jakarta yang belum menapaki satu periode kepemimpinannya ini sering membuat lawan politiknya tercengang dan kehabisan pikiran. Lihat saja bagaimana popularitas Jokowi melunjak saat program mobil ESEMKA, itu terbukti bahwa popularitas jokowi mampu menyaingi Fauzi Bowo pada saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang sangat membuat rakyat terpesona dan terkesima adalah saat Jokowi-Jk mampu mengalahkan Prabowo-Hatta dalam pesta demokrasi lima tahunan Indonesia.
Sebelum pemilihan Legislatif dan Pilpres dimulai, banyak dari LSI yang melakukan survei-survei terkait elektabilitas partai dan calon presiden, dan banyak dari lembaga survey membuktikan bahwa jokowi lah Top on the top pada saat itu, sehingga partai PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) pada saat itu mengusung nama Jokowi sebagai calon Presiden  dari partai yang berlambang Banteng bermoncong putih itu, tokoh sentral partai seperti Megawati Seokarno Putri pun tidak mampu menyaingi elektabilitas Jokowi dan akhirnya dengan legowo memberikan restu kepada Jokowi untuk mencalonkan diri dari partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut.
Hiruk pikuk perjalanan politik Jokowi sampai saat ini masih berlanjut, sampai-sampai program unggulan Jokowi-Jk yaitu kartu sakti, KIS (Kartu Indonesia Sehat), KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan KKS masih menuai Pro dan Kontra, tentu hal ini membawa opini public kearah yang tidak menguntungkan bagi KMP (Koalisi Merah Putih) karena terkesan menghalangi-halangi niatan baik program yang bersentuhan langsung dengan rakyat ini.
Saya sebagai masyarakatpun merasa terganggu oleh sikap KMP (Koalisi Merah Putih) yang  tekesan menghalangi program kartu sakti ini. Argumentasi dan kritikan yang dilontarkan oleh para punggawa KMP (Koalisi Merah Putih) sungguh tidak bisa diterima oleh rakyat, rakyat tidak perlu aturan yang berbelit-belit, rakyat butuh kerja cepat dan kongkrit yang bisa dirasakan.
Dikesempatan yang berbeda Prof. Yusril Ihza Mahendra mengatakan “masyarakat bisa marah dengan berbagai kartu yang dipromosikan dan dibagikan presiden Jokowi, sebabnya bisa jadi kartu tersebut merugikan mereka” (Televisi Swasta, Jumat 7/11). Didalam waktu yang berbeda pernyataan Prof. Yusril Ihza Mahendra sebagai pakar Hukum Tata Negara pun ditanggapi oleh ketua fraksi partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Syarifudin Sudding mengatakan “peluncuran tiga kartu sakti jokowi tidak perlu mendapat pengesahan dari DPR. Hal itu karena penyesuaian anggaran dengan sendirinya akan dilakukan pada saat pembahasan perubahan anggaran 2015 mendatang dan saya kira anggaran peluncuran tiga kartu sakti Jokowi-Jk sudah memiliki payung hukum yang jelas melalui UU APBN. Tinggal dilaksanakan harusnya dihargai dan diapresiasi. Karena dalam waktu yang relatif singkat Jokowi-Jk bisa merealisasikan program unggulanya. Ini menunjukan bahwa pemerintah bekerja cepat, kata sudding kepada //Republika online (ROL) sabtu (8/11).
Sudah seharusnya stake holder dari KMP (koalisi Merah Putih) dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) mau membuka diri dan dan berpikir untuk sama-sama memajukan kepentingan rakyat Indonesia bukan kepentingan golongan atau partai, telebih lagi adanya gerakan sakit hati terkait kekalahan pada pilpres lalu. Lepaskan masalah yang lalu, marilah tatap wajah rakyat Indonesia 5 tahun ke depan, mau dijadikan apa Indonesia kalau elit eksekutif dan legislatif tidak ada  senergis yang jelas, apakah program-program pro-rakyat bisa dikerjakan.
Permasalahan Negara Indonesia ini sangat kompleks, mulai dari masalah klasik kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Ditambah lagi masalah kepentingan politik yang rela menjual dan mempermainkan hak rakyat demi memenuhi sahwat dan birahi kepentingan dan kekuasaan belaka, masalah ini mencerminkan bahwa di Indonesia belum ada kesadaran kolektif untuk membangun bangsa, yang ada hanyalah membangun gengsinitas dan citra personal maupun partai yang selalu ingin meraih simpati dari rakyat demi kepentingan dan suksesi 5 tahun mendatang.
Sementara itu melihat adanya kritikan dari berbagai pihak, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun angkat bicara, menurutnya penerbitan kartu sakti oleh Jokowi-Jk dilandasi dasar hukum yang jelas. Bahkan anggaranya sudah dialokasikan dalam APBN 2014 yang disusun oleh pemerintah SBY-Budiono.(Republika.co.id Jakarta, kamis 6/11) sebelumnya itu Mensesneg Prof. Pratikno (Mantan Rektor UGM) mengatakan “pembiayaan KIS (Kartu Indonesia Sehat), KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan KKS (Kartu Keluarga Sejahtera) saat ini menggunakan dana tanggung jawab sosial (CSR) BUMN, bukan APBN karenanya tidak perlu menunggu pengesahan dan persetujan DPR (Repubika.co.id Jakarta, kamis 5/11)
Sebenarnya dalam hal ini rakyat bisa menilai, mana yang hanya retorika dan mana yang bekerja, kalau hanya beretorika kapan DPR mau bekerja? Rapat alat kelengkapan dewan pun belum kelar di tambah lagi masalah internal DPR, dualisme kepemimpinan atau Koalisis tandingan atau apakah namanya itu, yang terpenting bagi kami rakyat jelata adalah Pemerintah bersama DPR menjalankan tugas dan amanah dengan sebaik-baiknya, kalau tidak mampu menjalankan tugas dan amanah dengan baik, turun saja biar kami yang akan menggantikan posisi itu.
Dari beberapa argumentasi pro dan kontra terkait masalah peluncuran kartu sakti oleh Jokowi-Jk saya mencoba memberikan masukan kepada para penguasa dan rakyat jelata, yang pertama marilah kita sama-sama menjunjung tinggi pancasila,yang dimana didalamnya sudah tertuang sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah para penyelenggara sudah adil dalam menjalankan tugasnya mengurus rakyat Indonesia keseluruhan? Yang kedua tidakkah pemerintah dan DPR menyadari amanat Undang-undabg 1945 yang mewajibakan Negara memberikan pendidikan dan pelayaanan kesehatan yang baik untuk rakyat Indonesia? Apakah sepatuhya kita menyalahkan dan mengkritik pemerintah Jokowi-Jk yang telah patuh dan taat pada pancasila dan Undang-Undang? Lepaskan baju kepentingan politik dan pakailah baju kepentingan rakyat Indonesia. Yang ke tiga saya mengharapkan kepada pemerintah Propinsi, Kabupaten/kota, kecamatan dan desa agar benar-benar mendukung program kartu sakti ini dengan mendata dengan benar rakyat yang benar-benar harus menerima kartu sakti ini nantinya, jangan sampai terjadi lagi kesalahan pendataan sehingga yang miskin dan tertinggal tidak mendapatkan hak mereka. Yang ke empat saya mengajak rekan-rekan mahasiswa agar mampu berperan serta dalam mengawal kebijakan kartu sakti ini. Dan yang terakhir saya mengajak saudara-saudara saya yang datang dari kaum tertindas dan rakyat jelata, sudah saatnya kita bangkit dan tidak harus lagi bergantung dari bantuan maupun kartu-kartu lagi, karena sesungguhnya itu adalah hal yang bisa membuat kita merasa malas, karea selalu merasa dimanjakan oleh pemerintah. justru dari program kartu sakti ini kita mulai merubah pola pikir kita untuk mulai hidup mandiri dengan memanfaatkan fasilitas yang sudah diberikan Negara agar kitaa mampu menjadi generasi emas masa depan yang mampu merubah wajah murung Indonesia menjadi wajah yang penuh keceriaan, dimana diladalamnya kehidupan yang harmonis, tanpa konflik dan kepentingan.